Kebangkitan pedagang Minang terjadi kembali
pasca-kemerdekaan.
Di tahun 1950-an banyak pengusaha Minangkabau
yang sukses berbisnis, diantaranya Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus
Musin Dasaad, dan Sidi Tando.
Pada masa Orde Baru, kebijakan
pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau.
Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu,
terutama masalah pinjaman modal di bank serta pengurusan ijin
usaha.
02. Kultur
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol
dalam masyarakat Minangkabau.
Bagi masyarakat Minang, berdagang
tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi
juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang
merdeka.
Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan
berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang
lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah sebuah
pilihan yang tepat.
Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin
kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar"
(elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan
prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang
merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus
menjadi orang yang merdeka.
Dengan berdagang, orang Minang bisa
memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan
keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang.
Sehingga
banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik
di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus
kerja kantoran, yang acap kali di suruh dan di marah-marahi.
Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlang sungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran.